salam

Kamis, 13 Oktober 2011

Abu Nawas : MEMINDAH ISTANA KE GUNUNG

Baginda Raja baru saja membaca kitab tentang kehebatan Raja Sulaiman yang mampu memerintahkan, para jin memindahkan singgasana Ratu Bilqis di dekat istananya. Baginda tiba-tiba merasa tertarik. Hatinya mulai tergelitik untuk melakukan hal yang sama. Mendadak beliau ingin istananya dipindahkan ke atas gunung agar bisa lebih leluasa menikmati pemandangan di sekitar. Dan bukankah hal itu tidak mustahil bisa dilakukan karena ada Abu Nawas yang amat cerdik di negerinya.

Tanpa membuang waktu Abu Nawas segera dipanggil untuk menghadap Baginda Raja Harun AI Rasyid.

Setelah Abu Nawas dihadapkan, Baginda bersabda, “Abu Nawas engkau harus memindahkan istanaku ke atas , gunung agar aku lebih leluasa melihat negeriku?” tanya Baginda sambil melirik reaksi Abu Nawas. Abu Nawas tidak langsung menjawab. la berpikir sejenak hingga keningnya berkerut. Tidak mungkin menolak perintah Baginda kecuali kalau memang ingin dihukum. Akhirnya Abu Nawas terpaksa menyanggupi proyek raksasa itu. Ada satu lagi,permintaan dari Baginda, pekerjaan itu harus selesai hanya dalam waktu sebulan. Abu Nawas pulang dengan hati masgul. Setiap malam ia hanya berteman dengan rembulan dan bintang-bintang. Hari-hari dilewati dengan kegundahan. Tak ada hari yang lebih berat dalam hidup Abu Nawas kecuali hari-hari ini. Tetapi pada hari kesembilan ia tidak lagi merasa gundah gulana. Keesokan harinya Abu Nawas menuju istana. la menghadap Baginda untuk membahas pemindahan istana. Dengan senang hati Baginda akan mendengarkan, apa yang diinginkan Abu Nawas.

“Ampun Tuariku, hamba datang ke sini hanya untuk mengajukan usul untuk memperlancar pekerjaan hamba nanti.” kata Abu Nawas.

“Apa usul itu?”

“Hamba akan memindahkan istana Paduka yang mulia tepat pada Hari Raya Idul Qurban yang kebetulan hanya kurang dua puluh hari lagi.”

“Kalau hanya usulmu, baiklah.” kata Baginda. “Satu lagi Baginda…..” Abu Nawas menambahkan.

“Apa lagi?” tanya Baginda.

“Hamba mohon Baginda menyembelih sepuluh ekor sapi yang gemuk untuk dibagikan langsung kepada para fakir miskin.” kata Abu Nawas.

“Usulmu kuterima.” kata Baginda menyetujui. Abu Nawas pulang dengan perasaan riang gembira.

Kini tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Toh nanti bila waktunya sudah tiba, ia pasti akan dengan mudah memindahkan istana Baginda Raja. Jangankan hanya memindahkan ke puncak gunung, ke dasar samudera pun Abu Nawas sanggup.

Desas-desus mulai tersebar ke seluruh pelosok negeri. Hampir semua orang harap-harap cemas.

Tetapi sebagian besar rakyat merasa yakin atas kemampuan Abu Nawas. Karena selama ini Abu Nawas belum pemah gagal melaksanakan tugas-tugas aneh yang dibebankan di atas pundaknya. Namun ada beberapa orang yang meragukan keberhasilan Abu Nawas kali ini.

Saat-saat yang dinanti-nantikan tiba. Rakyat berbondongbondong menuju lapangan untuk melakukan sholat Hari Raya Idul Qurban. dan seusai sholat, sepuluh sapi sumbangan Baginda Raja disembelih lalu dimasak kemudian segera dibagikan kepada fakir miskin.

Kini giliran Abu Nawas yang harus melaksanakan tugas berat itu. Abu Nawas berjalan menuju istana diikuti oleh rakyat. Sesampai di depan istana Abu Nawas bertanya kepada Baginda Raja, “Ampun Tuanku yang mulia, apakah istana sudah tidak ada orangnya lagi?”

“Tidak ada.” jawab Baginda Raja singkat. Kemudian Abu Nawas berjalan beberapa langkah mendekati istana. la berdiri sambil memandangi istana. Abu Nawas berdiri mematung seolah-olah ada yang ditunggu. Benar. Baginda Raja akhirnya tidak sabar.

“Abu Nawas, mengapa engkau belum juga mengangkat istanaku?” tanya Baginda Raja.

“Hamba sudah siap sejak tadi Baginda.” kata Abu Nawas. “Apa maksudmu engkau sudah siap sejak tadi? Kalau engkau sudah siap. Lalu apa yang engkau tunggu?” tanya Baginda masih diliputi perasaan heran.

“Hamba menunggu istana Paduka yang mulia diangkat oleh seluruh rakyat yang hadir untuk diletakkan di atas pundak hamba. Setelah itu hamba tentu akan memindahkan istana Paduka yang mulia ke atas gunung sesuai dengan titah Paduka.”

Baginda Raja Harun AI Rasyid terpana. Beliau tidak menyangka Abu Nawas masih bisa keluar dari lubang jarum.

Selasa, 11 Oktober 2011

Abu Nawas dan Mimpi Indah

Seorang pendeta dan seorang rahib berencana memperdayai Abu Nawas. Rencanapun disusun rapid an mereka segera bertandang kerumah Abu Nawas yang disambut baik oleh yang empunya rumah.

“Kami ingin mengajakmu melakukan pengembaraan suci, wahai Abu Nawas. Kami berharap engkau tidak keberatan dan dapat bergabubg bersama kami,” ujar si Rahib sambil melirik pada kawan di sebelahnya.

“Dengan senang hati aku akan ikut, kapan rencananya?” Tanya Abu Nawas.

“Besok pagi ujar si Pendeta gembira.“Baiklah kitabertemu di warung teh besok,” ujar Abu Nawas.

Demikianlah keesokan harinya Abu Nawas beserta dua orang yang mengajaknya ini berangkat bersama. Mereka berpakaian dengan cara yang khas. Abu Nawas dengan pakaian sufi, si Pendeta dengan baju kebesarannya, dan si Rahib dengan pakaian keagamaannya.Di tengah perjalanan mereka bertiga mulai merasa lapar.

“Hai Abu Nawas, karena kita sudah sudah lapar dan kebetulan kita tidak membawa bekal, ada baiknya engkau mengumpulkan derma untuk membeli makanan bagi kita bertiga. Kami berdua akan melakukan kebaktian,” ujar si Pendeta.

Tanpa berpikir panjang, Abu Nawas langsung beranjak pergi mencari dan mengumpulkan derma dari satu dusun ke dusun yang lain. Setelah dirasa derma yang diterima mencukupi, Abu Nawas langsung membali makanan yang cukup untuk mereka bertiga. Abu Nawaspun kembali kepada dua temannya yang tengah melakukan kebaktian.

“Mari kita bagi makanan ini sekarang juga,” ujar Abu Nawas yang memang sudah sangat lapar.

“Jangan, jangan dibuka sekarang, karena kami sedang berpuasa,” ujar sang Rahib.

“Tapi aku hanya akan mengambil bagianku saja, sedang bagian kalian terserah kalian,” ujar Abu Nawas.

“Aku tidak setuju, kita harus seiring seirama dalam berbuat apapun,” ujar si Pendeta.

“Betul aku juga tidak setuju, karena waktu makanku besok pagi,” ujar si Rahib yang ahli Yoga menimpali.

Tentu saja Abu Nawas sangat usar mendengar pernyataan kedua orang itu. Perutnya yang keroncongan memaksanya kembali memperotes.

“Bukankah aku yang kalian suruh mencari derma dan sudah kukumpulkan derma itu dan sekarang telah kubelikan makanan. Mengapa kalian tidak mengizinkan aku mengambil bagianku sendiri? Sungguh tidak masuk akal,” ujar Abu Nawas memperotes.

Namun dua orang itu tetap teguh pada pendiriannya sekalipun Abu Nawas dengan segala macam cara menjelaskan tetap saja si Rahib dan Pendeta bergeming. Hal ini membuat Abu Nawas dongkol bukan main, tapi karena dirasa tidak ada gunanya menentang dua orang yang sudah bersekongkol itu, Abu Nawaspun memilih diam.

“Bagaimana kalau kita buat perjanjian?” ujar sang pendeta tiba-tiba.

“Perjanjian apa?” Tanya Abu Nawas.

“Kita adakan lomba, siapa yang nanti malam bermimpi paling indah, maka dia berhak atas bagian makanan yang lebih banyak. Sedang yang kedua mendapat bagian lebih sedikit. Sedang yang mimpinya tidak indah mendapat bagian makanan yang paling sedikit,” ujar Pendeta dengan cerdiknya. Karena sudah dongkol dan kesal, Abu Nawas menyetujui saja perjanjian itu.

Begitu pagi sudah tiba mereka bertiga sudah bangun. Dengan sangat antusias si Rahib lalu menceritakan mimpinya.

“Luar biasa! Semalam aku bermimpi indah sekali. Aku memasuki sebuah taman yang mirip sekali dengan Nirwana. Aku merasakan suatu kenikmatan dan keindahan yang belum pernah kurasakan seumur hidupku,” ujar Rahib dengan gembiranya.

“Mimpimu sangat menakjubkan saudara Rahib, sangat menakjubkan…,” ujar si Pendeta dengan agak berlebihan.

“Mimpiku pun tak kalah indahnya,” ujar Pendeta, “Aku seolah-olah menembus ruang dan waktu. Aku menyusup ke masa silam di mana pendiri agamamu hidup. Dan sungguh sangat membahagiakan aku bertemu dengannya dan kemudian aku diberkati olehnya,” ujar sang Pendeta dengan gembiranya.

“Seperti tadi, kini giliran Rahib memuji-muji mimpi si Pendeta. Sementara Abu Nawas diam saja melihat kelakuan dua orang yang memang bersekongkol memperdayai dirinya itu.

“Hai Abu Nawas, kenapa kau diam saja. Apa mimpimu semalam, apakah seindah mimpi kami?” ujar si Rahib dan Pendeta hamper bersamaan.

Abu Nawas yang sudah tahu dirinya tengah dikerjai, hanya berujar pelan.

“Kawan-kawanku sepengembaraan. Kalian tentu mengenal Nabi Daud as. Beliau adalah Nabi yang ahli berpuasa, tadi malam aku bermimpi bertemu dan berbincang-bincang dengannya. Beliau menanyakan apakah aku berpuasa atau tidak. Karena aku belum makan dari pagi, maka aku bilang saja bahwa aku berpuasa. Tidak tahunya beliau menyuruhku berbuka karena hari sudah malam. Tentu saja aku tidak berani membantah perintah seorang Nabi. Makanya aku bangun dan langsung menghabiskan semua makanan,” ujar Abu Nawas dengan santainya.

Sumber:http://www.sufiz.com

Minggu, 09 Oktober 2011

KISAH 1001 malam

HIKAYAT ABU NAWAS

ENAM EKOR LEMBU YANG PANDAI BERKATA-KATA

Pada suatu hari Sultan Harunnurasyid menyuruh panggil Abu Nawas pula datang menghadap baginda. Sebab pikir baginda, Abu Nawas sangat cerdik, jadi hendak diujinya. Maka Abu Nawas pun datanglah, lalu menyembah. Titah Sultan Harunnurasyid kepadanya, “Hai, Abu Nawas, aku menginginkan enam ekor lembu yang pandai berkata-kata dan yang berjanggut. Dalam tujuh hari ini hendaklah sudah ada keenam binatang itu disini! Jika tiada dapat olehmu, niscaya engkau kusuruh bunuh”.

Sembah Abu Nawas, “Baiklah, Tuanku Syah Alam, patik junjung titah Tuanku itu”.

Maka segala orang yang duduk pada majelis raja itu pun berkata sama sendirinya, “ Sekali ini matilah Abu Nawas dibunuh oleh Sultan Harunnurasyid”.

Setelah itu maka Abu Nawas pun lalulah bermohon ke luar, pulang ke rumahnya. Serta sampai, lalu ia duduk berdiam diri memikirkan kehendak amirulmukminin yang demikian itu. Sehari pun tiada ia keluar dari dalam rumahnya. Sekalian orang yang melihat hal Abu Nawas itu, heranlah.

Setelah sampai akan hari yang dijanjikan oleh Sultan Harunnurasyid itu, barulah Abu Nawas keluar dari dalam rumahnya, lalu ia berjalan menuju ke pangkalan orang nelayan. Di tengah jalan ia bertemu dengan orang-orang yang berjalan ke pangkalan itu jua, lalu dipanggilnya, “Hai orang muda! Hari ini apa harinya”?

Yang mana mengatakan yang betul hari itu, dilepaskan oleh Abu Nawas dan yang salah jawabnya, ditahannya orang itu. Maka berlain-lainlah jawab mereka itu, seorang mengatakan hari ini, seorang mengatakan hari itu, seorangpun tak ada yang betul jawabnya.

Kata Abu Nawas kepada orang itu, “Kata engkau, hari ini dan hari anu; disini tak ada ini, tak ada itu, tak ada anu, melainkan esok hari barulah yang betul; kita pergi menghadap Sultan Harunnurasyid, disanalah baru dapat yang betul itu”.

Keesokan harinya, pada majelis raja Harunnurasyid telah banyak orang berhimpunm hendak melihat hal Abu Nawas juga, apakah jawabnya kepada baginda. Kemudian datanglah Abu Nawas serta membawa enam orang yang berjanggut. Telah sampailah Abu Nawas ke hadapan baginda, lalu ia berdatang sembah serta duduk pada majelis itu.

Maka raja Harunnurasyid pun bertitah kepadanya, “Hai Abu Nawas, manatah lembu yang pandai berkata-kata dan yang berjanggut itu”?

Sembah Abu Nawas sambil menunjuk kepada orang yang berenam itu, “Inilah ya Tuanku Syah Alam”.

Sabda amirulmukminin, “Hai Abu Nawas, apa yang engkau tunjukkan kepadaku ini”?

Sembah Abu Nawas, “Ya Tuanku Syah Alam, tanyakanlah kepada mereka itu hari apakah sekarang ini”.

Maka ditanyailah oleh Sultan Harunnurasyid orang-orang itu. Berlain-lainlah nama hari yang mereka sebut itu.

Kata Abu Nawas pula, “Jikalau mereka manusia, tahulah mereka akan nama hari itu. Apabila, jika Tuanku tanyakan hari yang lain-lain, tentu bertambah-tambah tiada diketahuinya. Manusiakah atau binatangkah yang demikian itu? Inilah lembu yang pandai berkata-kata, serta berjanggut, ya Tuanku.

Maka Sultan Harunnurasyid heran melihat hal Abu Nawas pandai sekali melepaskan dirinya itu. Setelah itu amirulmukminin pun menyuruh memberi persalin dan uang lima ribu dinar kepada Abu Nawas.

Sekalian orang heranlah. Setelah sudah, bermohonlah segala mereka itu pulang ke rumahnya masing-masing dengan suka cita. Abu Nawas pun pulang juga.

Pengikut

Animated Spinning Kunai - Naruto